Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Selamat Jalan Kyai Fawaid

Meninggalnya kiyai Fawa’id bagi saya dan mungkin bagi santri-santri alumni situbondo yang lain tentu saja menyisakan duka yang dalam. Kami memang tak memiliki kedekatan apapun, selain sebagai santri yang tak mungkin dikenalnya satu-satu, tapi kami tentu merasa dia seorang ayah dan guru sekaligus yang berwibawa dan sangat dihormati. Karenanya, mendengar kabar beliau menninggal, saya langsung mengingat kenangan-kenangan Situbondo.

Kenangan pertama, sore tu, pada hari pertama saya resmi berstatus santri di pondok pesantren yang diasuhnya. Saya ter-mangu melihat jalan-jalan yang begitu ramai tiba-tiba senyap ketika sebuah Escudo biru merayap dan membuat semua orang minggir ke trotoar. Mereka yang tua, yang muda, yang sarungan dan yang pakai celana, mereka berdiri sembari menundukkan kepala. Gerangan, orang-orang itu tengah menghornati KH. Fawaid As’ad yang ada didalam Escudo. Satu-satunya kiai Situbondo yang paling dihormati, berperawakan gempal, wajahnya sedikit dihiasi brewok dan surban yang terikat dikepala sebagai khasnya, kiai ini putra tertua Almarhum KH. As’ad Syamsul Arifin, ulama khos pendiri NU.

Kenangan kedua, pertemuan paling dekat dengan Kiai Fawaid ketika Sowan (Pergi Salaman) yang berlangsung setahun dua kali. Pertama saat kami sowan pulang kampung seminggu sebelum puasa dan kedua saat balik lagi ke pondok seminggu setelah lebaran. Dan….di beranda rumahnya yang luas dengan kapasitas sekitar seratus orang, kami menunggu hingga berjam-jam ditemani camilan kacang goring dan nyanyian beo yang mengucapkan Assalamualaikum. Dan… ketika tiba saatnya sang Kiai keluar, kami nyokor dari tempat duduk dan giliran bersalaman, tidak lupa “Nyabis” uang kertas tergenggam ditangan.

Kenangan lain, saat acara besar Maulid Nabi, salah satu acara terbesar dipondok. Saya berdiri di tengah kerumunan ribuan santri, dan dari arah belakang, kiai datang dengan mobil Avansa yang mengaum mengeluarkan Sirene Auman Harimau Marah. Kerumunan serta merta terbelah dan hening, semua santri menundukkan kepala memberi mobil itu jalan lewat hingga ke panggung tempat acara berlangsung. Dan kami percaya, sirene yang belum kami tau itu sebagai karomah kiai yang membuat kami tak berani main-main melanggar aturan pondok yang dibacakan setiap jum’at pagi.

Kenangan-kenangan itu semoga menjadi doauntuk beliau. Allahummgfirlahu Warhamhu, Wa’afihi Wa’fu Anhu, Waj’alil Jannata Matswahu Birohmatika Ya Arhamar Rahimin. Amin.[]